type='text/javascript'/>

Choirul Mahfud Marsahid

"berbagi adalah ibadah. this web for sharing".

Wednesday, October 26, 2011

Etika Konfucius dan Spirit Kapitalisme?

by: Choirul Mahfud, Direktur Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya, pegiat cross-cultural religious, multikulturalisme dan studi China.

“China is hungry for success and this might well be a key reason for its enduring rise. … China's cultural traditions also affect its approach to negotiation,… and on foreign policy”. Fareed Zakaria, The Post-American World (2008: 104, 110).

China, Cina atau Tiongkok terus menjadi topik kajian serius dan penting bagi publik dunia. Saking pentingnya, konon rutinitas orang yang mengawali harinya dengan membaca The New York Times, kini ada yang berubah dengan lebih dulu melihat isi dari koran-koran terbitan China. Hal itu menunjukkan bahwa citra China kini telah menggoda dan menggeser selera publik di belahan dunia. Maklum, selama ini seolah perbincangan yang menarik hanya berkaitan dengan Negeri Paman Sam, Amerika Serikat dan sekutunya. Sementara yang lain dipandang sebelah mata dan dianggap tak ada artinya. Tapi, kini dunia telah berubah, dan sebagian negara terglobalisasi dengan pesat. China adalah salah satu negara yang mampu melakukan perubahan cepat dan mengagumkan hingga mengundang penasaran dunia.

Belakangan ini, banyak pengamat politik internasional memprediksi China akan menjadi kekuatan super (superpower) melampaui Amerika dan sekutu kapitalisme-nya. Apalagi, Amerika Serikat yang disebut sebagai negara adidaya, nampaknya ke depan berjalan terseok-seok seiring badai tsunami krisis ekonomi dan moneter serta kepercayaan dunia yang terus menyusut (low in trust). Sementara China kini bangkit seperti lapar untuk sukses dan ditengarai sebagai kompetitor Amerika dalam pentas politik global. Karena itu, Samuel P. Huntington mengajak mengevaluasi dengan bertanya pada diri orang Amerika, siapa sebenarnya kita?

Terkait kemajuan China, The Economist turut memberi catatan penting bahwa kebangkitan China seolah sebagai penanda berakhirnya akhir sejarah (The end of the end of history) yang didengungkan Francis Fukuyama, pemikir politik yang selama ini mengukuhkan kemenangan liberalisme dan kapitalisme global Amerika Serikat.
Sebelumnya, Futurolog John & Doris Naisbitt, juga memprediksi masa depan China dalam buku terbarunya “China’s Megatrends”. Menurut Naisbit, China sebagai negara yang mampu berubah secara fundamental di berbagai aspek kehidupan. Mulai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, serta dampaknya yang signifikan bagi pesaing-pesaing utamanya, yakni negara-negara Barat terutama Amerika Serikat.

Tak hanya Naisbit bersaudara, Martin Jacques dalam buku “When China Rules The World”, juga menjelaskan dengan baik posisi China yang tengah menuju puncak peradaban dunia. Demikian pula, Ilan Alon dan Julian Chang et.all, dalam buku “China Rules; Globalization and Political Transformation”, mencandra bagaimana globalisasi kini dimainkan oleh China untuk melakukan transformasi ekonomi politik di pentas global.

Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos, juga mencatat dinamika ekonomi-politik China terus berkembang cepat sejak awal berdirinya pada 1949 sampai hari ini. Kini, situasi investasi dan keamanan dalam negeri terus membaik. Dalam dua dekade terakhir, kondisi ekonominya sangat berbeda dengan China yang dikenal pada era 60-an atau 70-an. Berawal dari revolusi kebudayaan, reformasi ekonomi dan keterbukaaan terhadap dunia luar pada 1978, China di bawah kepemimpinan Deng-Xiaoping dan dilanjutkan oleh Jiang Zemin hingga era Hu Jintao saat ini, membuat kekuatan China terus diperhitungkan dan dianggap menjadi pesaing Amerika di masa mendatang.

World Bank juga menaruh kewaspadaan pada kebangkitan ekonomi China yang kini terus terlibat aktif dalam arus globalisasi dan pasar bebas. Dalam konteks inilah, Ivan A. Hadar mengutip Kaplinsky (2006) menilai, China bukan sekadar “emerging economies” melainkan “asian drivers of global change”. Dalam waktu kurang dari satu dasawarsa, China telah membuktikan dan berubah dari pemain ekonomi pinggiran menjadi pemain utama pasar global. Ekspornya ke AS pada kurun waktu 1985–2004 melejit dari “nol” menjadi sekitar 15% dan kini terus meningkat.

Singkat kata, China kini telah melakukan lompatan besar dan bangkit terus maju bergerak cepat dari pinggiran ke pemain utama dalam pentas politik ekonomi global. Beberapa pengamat menilai bahwa salah satu kunci rahasia kebangkitan dan kemajuan China tak lepas dari faktor kekayaan modal kultural dan ideologi yang telah diwarisinya selama ini. R. Bin Wong (2000), dalam buku “China Transformed: Historical Change and the Limits of European Experience” menjelaskan salah satu rahasia China dalam melakukan transformasi yakni bertransformasi tanpa melupakan kekuatan sejarah masa lalu dan kultur yang dimilikinya. Jinghao Zhou (2010), dalam buku “China’s Peaceful Rise in a Global Context” menjelaskan transformasi dan kebangkitan China menuju peta demokratisasi masih dalam lajur damai (peaceful rise) tanpa kekerasan yang berarti.

Berpijak dari latar belakang di atas, tulisan ini berupaya menemukan jawaban-jawaban atas berbagai persoalan berikut ini: (1) apa dan bagaimana dasar ideologi dan kultur yang dimiliki oleh China sebagai modal bagi kebangkitan dan kemajuan ekonomi, politik, militer negeri Tirai Bambu tersebut, dan pijakan bagi sikapnya terhadap dunia internasional? Lalu, (2) sejauhmana karakteristik-karakteristik ideologis dan kultural tersebut mempengaruhi keberadaan China dewasa ini dan di masa yang akan datang?

China merupakan salah satu negara yang paling besar di dunia. Bukan saja dari aspek kuantitas jumlah penduduk tetapi juga kualitas pengaruh kebudayaan, perdagangan dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Hal itu bisa dibaca dari banyak buku dan lembaran sejarah perkembangannya. Sejarah mencatat, bahwa China merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan kultur dan sejarah peradaban yang cukup tua. Bayangkan saja, Nabi Muhammad SAW yang diteladani kaum Muslim se-dunia menganjurkan untuk menimba ilmu hingga ke China. Secara politik, Negara ini pernah dipimpin oleh berbagai dinasti. Dimana kepala pemerintahannya disebut kaisar. Kepemimpinan kaisar telah berjalan hampir selama 2000 tahun dengan sebuah pemerintahan pusat yang kuat dengan pengaruh Kong Hu Cu.

Ibarat pendulum, ideologi China bisa dikatakan masih mengalami pergerakan antara konfucianisme, komunisme dan belakangan ini adalah kapitalisme. Benjamin Schwartz, dalam buku “Communism and China”, menjelaskan posisi China dan ideologi komunisme serta konfucianisme masih terus mengalami pasang surut. Di era Mao Zedong, boleh dikata, posisi ideologi komunisme dan marxisme lebih superior ketimbang konfucianisme. Namun setelah kepemimpinan Mao, kerinduan kembali ke ideologi konfucianisme kembali terjadi. Akhirnya, modifikasi ideologi konfucianisme dengan dinamika zaman modern hampir selalu dilakukan oleh pemikir neo konfuciusianisme.

Etika Konfucius dan Spirit Kapitalisme?

Berbicara soal China tidak lepas dengan konfucianisme. Konfucianisme bagi orang China merupakan identitas dan pedoman hidup. David Pong (2009), ed., dalam Encyclopedia of Modern China, menjelaskan tentang konfucianisme: Confucianism (ruxue or rujiao) is a complex and multifaceted philosophy that foregrounds the moral relationships of individuals or groups in a societal context, regulated by propriety (li). It has had a profound influence on Chinese sociopolitical systems, worldviews, ethics, education, religions, conventions, individual and community life, and scholarly traditions since around the sixth or fifth century BCE. Based on the teachings of Confucius (Kong Qiu, 551–479 BCE) and his disciples, as recorded in the Analects (Lunyu), Confucianism was established as the state orthodoxy during the Han dynasty (206 BCE–220 CE) and has dominated the development of Chinese civilization, shaping the political and personal lives of Chinese people.

Dari kutipan pernyataan di atas, konfucianisme sangat berpengaruh bagi China dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada 5 nilai dasar ideologi konfucianisme yang sangat penting bagi China Kontemporer, yaitu ren, yi, li, zhi, dan xin. Secara sederhana, kelima nilai itu memiliki makna yaitu ren=benevolence bermakna kebajikan/ cinta kasih; yi=righteousness atau keadilan; li=propriety berarti kesopanan, zhi=wisdom atau kebijaksanaan, dan xin=trust atau kepercayaan. Diantara kelima ajaran tersebut, yang sangat menonjol di China, terutama yaitu “Ren” dan “Li”. “Ren” juga dapat diartikan sebagai “Sikap hormat terhadap kehidupan pribadi, kesungguhan menangani persoalan, dan setia menjalankan tugas serta kewajiban yang berhubungan dengan kehidupan sosial”. Di sinilah, penghormatan kepada nenek moyang atau leluhur mendapat tempat istimewa. Sementara itu, “Li” dilukiskan sebagai gabungan antara tingkah laku, ibadah, adat kebiasaan, tatakrama, dan sopan santun. Namun begitu, semua ajaran konfucianisme tersebut saat ini dan pada masa yang akan datang masih akan terus berproses untuk dirawat dan dinikmati bagi kemajuan China.

Menurut Naisbit bersaudara dalam bukunya “China’s Megatrends”, ada 8 hal yang membuat China kini terus bangkit menjadi pemain utama dalam pentas politik global. Yakni “emansipasi pikiran”, “membingkai hutan dan membiarkan pohon tumbuh”, “menyeimbangkan top-down dan bottom-up”, “menyeberangi sungai dengan merasakan batu”, “bergabung dengan dunia”, “kebebasan dan keadilan”, “antusiasme artistik dan intelektual”, dan “dari medali Olimpiade menuju hadiah Nobel”. Kedelapan pilar itulah yang berusaha dielaborasi dan diimplementasikan oleh pemerintah China untuk menguasai dunia dan menjadi pesaing utama Barat. Usaha mewujudkan mimpi dan idealisme China dalam pentas politik global nampaknya bukan berangkat dari nol. Tapi sudah dibangun dengan modal dasar kultural dan ideologi yang kuat yang telah diwarisi dan dimilikinya semenjak dulu hingga saat ini. Beberapa modal dasar kultural dan ideologi yang menjadi ciri khas dalam kehidupan rakyat China adalah: pertama, budaya kerja keras yang dimiliki dan diperankan oleh masyarakatnya. Etos kerja bangsa China yang tinggi dan menekankan keuletan, ketekunan serta kerajinan sudah ditanamkan sejak kecil dalam keluarga. Budaya kerja keras itu merupakan cerminan dari ajaran Konfusianisme.

Kedua, budaya Percaya diri. Menurut I Basis Susilo, kepercayaan diri adalah salah satu sifat yang dibangun dan dikembangkan Mao Zedong sejak awal 1930-an hingga 1970-an. Percaya diri itu dibangun sebagai jawaban atas ”penghinaan seratus tahun” (bainian guochi) sebelumnya oleh bangsa-bangsa Barat dan Jepang sejak Perang Candu 1840-1949. Begitu bernafsunya, lanjut I Basis Susilo, membangun kepercayaan diri, Mao memaksakan Revolusi Kebudayaan (1966-1976) yang menelan korban jutaan jiwa. Bagaimanapun, Mao menyumbangkan bangunan dasar bagi infrastruktur, industri, kesehatan, dan pendidikan yang memadai. Dari sinilah, I Basis Susilo, menyimpulkan bahwa struktur bangunan dasar psikologis, ekonomis, sosial, dan politik untuk eksis dan maju, China secara alami tumbuh lebih kuat dan lebih percaya diri dibandingkan dengan, misalnya, Jepang dan Korsel yang harus menggadaikan sebagian kedaulatannya kepada AS.

Ketiga, ideologi kekeluargaan. Keluarga bagi China adalah pusat worldview. Bahkan seolah di China, the family was the state in miniature. Itu sebabnya Max Weber menyebut China sebagai “familistic state”. Dalam konteks ini, keluarga menjadi semacam ideologi (familism). Sistem keluarga China juga dipengaruhi oleh paham kekeluargaan Konfusius.

Keempat, keyakinan kepada Tuhan. Fareed Zakaria (2008) juga mencatat bahwa kemajuan China juga dipengaruhi oleh keyakinan masyarakat China kepada Tuhan. Inilah yang mengagetkan sebagian masyarakat Barat yang menganggap orang China tidak percaya kepada Tuhan. Mengutip hasil survey Pew pada tahun 2007, Fareed Zakaria menjelaskan realitas yang unik:

In the 2007 Pew survey, when asked whether one must believe in God to be moral, a comfortable majority of Americans (57 percent) said yes. In Japan and China, however, much larger majorities said no—in China, a whopping 72 percent! This is a striking and unusual divergence from the norm, even in Asia. The point is not that either country is immoral—in fact all hard evidence suggests quite the opposite—but rather that in neither country do people believe in God. This might shock many in the West, but for scholars of the subject, it is a well-known reality.

Kelima, menghormati mekanisme hukum. M Farid W Makkulau melihat kemajuan China tak lepas dari penghormatan pada hukum. Menurut Farid, proses penegakan hukum di China bukan main-main. Keseriusan pemerintahnya dalam pemberantasan korupsi ditempatkan dengan pondasi politik dan kepemimpinan yang kuat.

Sampai disinilah, kontribusi dan eksistensi ajaran konfucianisme terus menginspirasi bagi perjalanan kemajuan dan kebangkitan China kontemporer dalam berbagai aspek kehidupan. Namun begitu, apa yang terjadi di China kontemporer hari ini mengingatkan saya pada tulisan Max Weber dalam buku “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism”, dimana ada pengaruh etika protestan (ajaran Calivinisme) terhadap suburnya kapitalisme. Situasi dan kondisi di China hari ini, nampaknya juga ada pengaruh konfuciusianisme terhadap kebangkitan dan kemajuan China. Namun apakah betul China akan menjadi negara kapitalisme baru seperti Amerika Serikat, ataukah tetap mempertahankan tradisi kultural dan ajaran konfuciusianisme, dan ataukah memperkuat kembali ideologi komunisme? Jawabannya hanya waktu dan sejarahlah yang akan terus menguji dan membuktikan bagaimana arah sejarah masa depan China.

Footnote:
Ringkasan artikel ini dibuat untuk jurnal Maarif Institute Jakarta, edisi Oktober 2011. Judul komplit asalnya: Ideologi dan Kultur China Kontemporer: Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfucianisme. Komplitnya bisa dibaca lebih lanjut di jurnal Maarif Institute Jakarta.
Thomas L. Friedman, The World is Flat: A Brief History of the Globalized World in the Twenty-first Century (London: Allen Lane, 2005).
Mark Leonard, What Does China Think? (London: Fourth Estate, 2008).
Fareed Zakaria, The Post-American World (London: Allen Lane, 2008)
Samuel P. Huntington, Who Are We? America’s Great Debate (London: The Free Press, 2005), 4–45.
Baca di http://www.economist.com/blogs/democracyinamerica/2011/01/china_v_america diakses 13 Oktober 2011. Tesis Fukuyama menegaskan bahwa kapitalisme dan liberalism Amerika sebagai pemenang sekaligus mengakhiri sejarah sosialisme dan komunisme global. Lebih lengkapnya baca tulisan Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (London: Hamish Hamilton, 1992).
John & Doris Naisbitt, China’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat China, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).
Baca tulisan Martin Jacques dalam buku “When China Rules The World: The Rise of the Middle Kingdom and the End of the Western World”.
Ilan Alon, Julian Chang et.all, China Rules; Globalization and Political Transformation, (UK: Palgrave Macmillan, 2009)
World Bank, China Engaged: Integration with the Global Economy (Washington, DC: 1997)
R. Bin Wong, China Transformed: Historical Change and the Limits of European Experience (Ithaca and London: Cornell University Press, 2000), 2–28.
Jinghao Zhou, China’s Peaceful Rise in a Global Context: A Domestic Aspect of China’s Road Map to Democratization, (UK: Lexington Books, 2010)
Jacques Gernet, A History of Chinese Civilization, 2nd (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 103–106;
Benjamin Schwartz, Communism and China……., Ibid.
Weiming Tu, Way, Learning, and Politics: Essays on the Confucian Intellectual. (Albany: State University of New York Press, 1993). Juga baca Leo Suryadinata, Southeast Asian Chinese: The Socio-Cultural Dimension (Singapore: Times Academic Press, 1995)
David Pong ed., Encyclopedia of Modern China……, Ibid. 347.
David Pong ed., Encyclopedia of Modern China…….Ibid. 347
David Pong ed., Encyclopedia of Modern China…….Ibid. 347
John & Doris Naisbitt, China’s Megatrends……………, Ibid.
Baca artikel I Basis Susilo, Harian Kompas, Kamis 01 Oktober 2009
Fareed Zakaria, The Post-American World (London: Allen Lane, 2008), 109.
Baca tulisannya di http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/06/25/belajar-dari-china/ diakses 13 Oktober 2011.
Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. (Charles Scribner’s Sons. New York: 1956)


Daftar Bacaan

Anderson, Benedict, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 1983)
Bell, Daniel A., China’s New Confucianism: Politics and Everyday Life in a Changing Society (Princeton: Princeton University Press, 2008)
Chen, Jingpan. Confucius as a Teacher: Philosophy of Confucius with Special Reference to Its Educational Implications. (Beijing: Foreign Languages Press, 1990).
Dreyer, Edward L., Zheng He: China and the Oceans in the Early Ming Dynasty, 1405–1433 (New York: Pearson Longman, 2007).
Friedman, Thomas L., The World is Flat: A Brief History of the Globalized World in the Twenty-first Century (London: Allen Lane, 2005)
Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man (London: Hamish Hamilton, 1992)
Gernet, Jacques, A History of Chinese Civilization, 2nd (Cambridge: Cambridge University Press, 1997)
Huntington, Samuel P., The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon and Schuster, 1996)
-------------------------, Who Are We? America’s Great Debate (London: The Free Press, 2005).
Johnston, Alastair Ian, Cultural Realism: Strategic Culture and Grand Strategy in Chinese History (Princeton: Princeton University Press, 1995)
Leonard, Mark, What Does China Think? (London: Fourth Estate, 2008)
Naisbitt, John & Doris, China’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat China, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).
Phillips, J M. dan L J. Moore, China; Economic, Political and Social Issues, (New York: Nova Science Publishers, 2009)
Pomeranz, Kenneth, The Great Divergence: China, Europe, and the Making of the Modern World Economy (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2000).
Pong, David, ed., Encyclopedia of Modern China, (USA: Gale, Cengage Learning, 2009)
Pye, Lucian W., The Spirit of Chinese Politics (Cambridge.: Harvard University Press, 1992).
Schwartz, Benjamin. Communism and China: Ideology in Flux. (Cambridge: Harvard University Press. 1968).
Suisheng, Zhao, ed., Chinese Foreign Policy: Pragmatism and Strategic Behavior (New York: M. E. Sharpe, 2004).
Suryadinata, Leo, Southeast Asian Chinese: The Socio-Cultural Dimension (Singapore: Times Academic Press, 1995)
Tanggok, M. Ikhsan, dkk, Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru Format Baru Hubungan Islam Indonesia dan China (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010
Tu, Weiming. Way, Learning, and Politics: Essays on the Confucian Intellectual. (Albany: State University of New York Press, 1993).
World Bank, China Engaged: Integration with the Global Economy (Washington, DC: 1997)
Yongnian, Zheng, Will China Become Democratic?: Elite, Class and Regime Transition (Singapore: EAI, 2004)
Yung, Lee Hong, The Politics of the Chinese Cultural Revolution: A Case Study. (Berkeley: University of California Press, 1978).
Zakaria, Fareed, The Post-American World (London: Allen Lane, 2008)
Wong, R. Bin, China Transformed: Historical Change and the Limits of European Experience (Ithaca and London: Cornell University Press, 2000).
Zhou, Jinghao, China’s Peaceful Rise in a Global Context: A Domestic Aspect of China’s Road Map to Democratization, (UK: Lexington Books, 2010).

1 komentar:

wan tamantap nih gan mampir ke blog ane ya gan,,

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More