type='text/javascript'/>

Choirul Mahfud Marsahid

"berbagi adalah ibadah. this web for sharing".

Saturday, October 22, 2011

Catatan Konferensi Internasional di Malaysia 2010


Hubungan Tiongkok dengan dunia internasional terus menarik perhatian. Ini terlihat pada kegiatan konferensi internasional yang bertajuk "Cheng Ho and Afro-Asian World". Konferensi yang berlangsung di Hotel Equatorial Melaka, Malaysia, pada 5-8 Juli 2010 tersebut digelar oleh Yayasan Museum Cheng Ho bekerja sama dengan pemerintah Malaysia.

Kebetulan, saya mendapat undangan dan berkesempatan hadir sebagai pembicara dari Indonesia untuk berbicara di forum internasional tersebut. Acara ini bisa dibilang unik dan asyik, karena berbeda dengan seminar-seminar umumnya dan tidak melulu berbicara romantisme sejarah Cheng Ho. Namun, seminar ini juga membahas lebih jauh bagaimana merevitalisasi spirit Cheng Ho dan kontribusi `negeri tirai bambu' Tiongkok bagi terciptanya tatanan dunia yang lebih adil, damai, maju, dan sejahtera dalam aras multikulturalisme global.

Dari tema tersebut, inti kegiatan konferensi internasional cukup nampak. Yaitu, lebih membahas peran diplomasi Tiongkok dengan dunia internasional yang telah dirintis sejak terjadinya ekspedisi Cheng Ho ke berbagai negara-negara di Afrika dan Asia, termasuk Malaysia dan Indonesia. Menariknya, konferensi internasional di dekat pantai Melaka ini dihadiri oleh ratusan pembicara dan partisipan dari berbagai negara. Di antaranya dari Amerika Serikat, Australia, China, Indonesia, Malaysia, New Zealand, Panama, Singapura, Taiwan, Inggris, Hong Kong, dan Sri Langka.

Dalam konferensi itu, sosok Cheng Ho tak bisa lepas dari kejayaan Tiongkok pada masanya. Sehingga, Cheng Ho dikenal sebagai bahariwan besar dari Tiongkok, mendahului para pelaut besar Eropa seperti Columbus dan Vasco da Gama. Armadanya juga jauh lebih besar, 200 kapal (bandingkan dengan Columbus yang hanya 3 kapal). Ia pernah memimpin tujuh kali ekspedisi mengarungi jarak lebih dari 50 ribu kilometer dan melewati berbagai kawasan dunia, termasuk Indonesia. Dalam konferensi tersebut, Johanes Herlijanto mengatakan bahwa Cheng Ho memiliki peran penting dalam hal penguatan hubungan Indonesia-Tiongkok. "Sebab, Cheng Ho telah beberapa kali datang ke Indonesia mewakili Tiongkok untuk melakukan kerja sama dan diplomasi politik, ekonomi, dan budaya. Beberapa tempat yang pernah dikunjungi oleh Cheng Ho adalah Aceh, Palembang, Cirebon, Semarang, Gresik, dan Surabaya," ungkapnya.

Selain itu, misi Cheng Ho di Indonesia juga banyak dikaitkan dengan penyebaran agama Islam. Sumanto al-Qurtuby, salah satu pembicara dari Indonesia, dalam bukunya Arus Islam-China-Jawa mencatat bahwa kunci masuknya Islam bukan saja dari Arab dan India, tetapi juga dari Tiongkok yang diwakili Cheng Ho. Dan, proses islamisasi nusantara yang dilakukan Cheng Ho bisa disebut akulturatif tanpa kekerasan. "Berkat Cheng Ho, pernah tercipta harmoni di tengah masyarakat Jawa kala itu, yang ditandai dengan akulturasi antara nilai-nilai Tiongkok, Jawa, dan Islam secara harmonis. Beberapa bukti harmoni sosial itu, hingga kini masih bisa disaksikan di beberapa masjid dan kelenteng di kawasan pantura Pulau Jawa, termasuk di Masjid Demak dan Masjid Cheng Ho Surabaya," ungkapnya dalam konferensi di Malaysia.

Saat ini, pelajaran Cheng Ho yang bisa diambil untuk penguatan hubungan Tiongkok-Indonesia juga bisa dilihat dari kisah perjalanannya dari satu tempat ke tempat lain. Dimana dalam setiap menjalankan misi ekspedisinya, Cheng Ho selalu mengedepankan pendekatan multikulturalisme tanpa kekerasan, dan apalagi terorisme. Ia menghormati dimensi kultural yang dianut masyarakat setempat berupa bahasa, nilai-nilai budaya, agama, artefak, dan lainnya. Penghormatan semacam ini cukup membantu dalam menghadapi lingkungan baru. Sikap ini juga mendatangkan pemahaman dan kearifan dalam menyikapi perilaku dan sikap pada konteks budaya yang berbeda untuk meningkatkan fleksibilitas dalam bertindak dan berinteraksi, sehingga terbinanya hubungan yang erat dan harmonis.

Di sinilah letak pentingnya masyarakat dunia untuk memahami spirit Cheng Ho dalam sebuah masyarakat yang plural dan multikultural. Cheng Ho memperlakukan perbedaan etnis, agama, budaya maupun peradaban dalam kesederajatan. Setiap perbedaan justru menjadi pendorong lahirnya sikap saling menghormati dan mengapresiasi, bahkan saling mengisi, mendukung, dan memperkuat kerja sama satu sama lain.

Ala kulli hal, tak lupa saya wajib menghaturkan berjuta terima kasih (xie-xie) untuk semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya saat mengikuti acara ini. Secara material, moral dan intelektual, berjuta terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak, terutama (secara abjad) kepada: A. Dahana (Guru Besar studi China UI jakarta), Aliptojo Wongsodihardjo (Perhimpunan INTI Jatim), Budi Santosa (PT Rutan), Fasich Lisan (Rektor UNAIR), Johanes Herlijanto (Jakarta), Liem Ou Yen (PMTS), Leonardi Lau (PUTI Jatim), Nur Syam (Rektor IAIN Surabaya), Ongko Digdojo (Buddhist Education Centre/ BEC Surabaya), Syafiq A. Mughni (Muhammadiyah), Sidharta Adhimulya (Mentor yang Tokoh TAO dan JITLI), Sumarno (Radar Surabaya), Tan Ta Sen (Malaysia), Tofan Hidayat (PPIT Jatim), Zainuddin Maliki (Rektor UM Surabaya) dan mungkin pihak lain yang membantu dan belum disebut di sini.

Semoga semua jasa material, moral dan intelektual semua pihak tersebut, terbalas yang terbaik. Salam damai untuk semua teriring doa.(*)

Choirul Mahfud, aktivis cross-cultural religious dan studi China di Surabaya.

Silahkan diBaca: di
http://www.facebook.com/?sk=messages&tid=1359785522390#!/note.php?note_id=418616\
328633&id=100000353945108&ref=nf

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More