type='text/javascript'/>

Choirul Mahfud Marsahid

"berbagi adalah ibadah. this web for sharing".

Saturday, December 03, 2011

Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan

Belum lama ini, Community Education Center (Comec) Jawa Timur mengadakan seminar tentang “budaya kekerasan dan ancaman nasionalisme”, di Hotel Fortuna Surabaya. Dihelatnya acara ini bukan tanpa alasan. Namun justru karena berawal dari banyak faktor dan latar masalah. Terutama fenomena menjalarnya kekerasan dari dan ke berbagai sektor kehidupan.

Karenanya, perlu dibahas dan diurai dari akar masalahnya hingga solusi bagaimana upaya pencegahannya. Menurut Simon Philantropa, kekerasan di negeri ini merupakan sesuatu yang diproduksi oleh penguasa dan masyarakat. Modus kekerasan yang dilakukan cukup beragam. Ada yang terbuka dan tertutup. Bahkan juga dilakukan secara diam-diam dalam bentuk pembiaran.

Bagi Simon, pembiaran terhadap kasus kekerasan merupakan bentuk kekerasan yang juga harus diwaspadai. Di sisi lain, Amin Hasan, ketua Comec Jawa Timur, menyatakan bahwa kasus kekerasan akhir-akhir ini nampaknya sudah menjadi budaya bangsa. Mulai di bangku sekolah, hingga materi khutbah.


Bagi Amin, seolah semua domain kehidupan masyarakat sudah akrab dengan budaya kekerasan. Hal itu dapat disaksikan pula dari banyaknya kasus yang berbau kekerasan melalui banyak media massa di negeri ini. Seperti kasus saling serang antara warga desa satu dengan warga desa lainnya, tawuran antar pelajar dan mahasiswa, tawuran antar suporter sepak bola, hingga adu jotos yang pernah terjadi di gedung dewan yang diperankan anggota dewan yang katanya terhormat. Beberapa kasus kekerasan di atas, lanjut Amin, tentu bukanlah sekadar kecelakaan belaka. Namun lebih dari itu, sudah menjadi budaya “baru” masyarakat di negeri yang plural ini. Tentu saja, bila dibiarkan budaya “baru” berbau kekerasan ini, maka tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Apalagi negeri ini konon dikenal sebagai negeri yang ramah, santun dan sangat menjunjung adat ketimurannya lainnya. Tentu menyisakan masalah apa kata dunia bila ini terus dibiarkan. Hingga saat ini, kasus kekerasan telah menimpa siapa saja. Mulai anak kecil hingga dewasa. Namun tak sedikit pula yang menimpa kaum perempuan. Kasus trafficking (perdagangan) yang kini menimpa anak dan gadis di bawah umur adalah wajah kekerasan yang harus disikapi bersama.

Secara bahasa, kekerasan adalah lawan dari kelembutan. Bahasa kelembutan dalam interaksi sosial seolah dianggap tak menyelesaikan masalah. Dari sinilah, istilah kekerasan dikupas. Istilah kekerasan pada mulanya digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert), langsung (dirrect) atau tak langsung (indirrect). Namun, dalam perkembangannya, dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan perilaku agresif satu pihak kepada pihak lain yang terjadi terus menerus. Anak yang menjadi korban kekerasan yang cukup serius, cenderung untuk mengembangkan perilaku kekerasan ini juga dalam kehidupannya setelah dewasa.

Dalam konteks inilah, budaya kekerasan perlu diurai sejak dini. Ada beberapa penjelasan mengenai proses kekerasan melahirkan kekerasan. Pertama, anak meniru perilaku agresif yang dilihatnya. Kedua, perilaku kekerasan dianggap hal yang wajar bahkan perlu untuk dilakukan. Ketiga, kekerasan yang dilihat atau dialami anak secara terus-menerus akan membentuk pola pikir pada anak bahwa lingkungan sekitarnya bukanlah tempat yang aman baginya.

Karena itu, ada benarnya bahwa anak memang selalu belajar dari lingkungannya. Hal ini biasa diungkap bahwa jika anak hidup penuh dengan kritik, anak cenderung akan belajar menyalahkan orang lain. Jika hidupnya penuh dengan permusuhan, anak akan belajar berkelahi. Sebaliknya, jika anak hidup dengan penuh kelapangan dada, anak akan belajar menjadi sabar. Manakala hidupnya penuh dengan pujian, anak cenderung akan belajar menghargai orang lain.

Dalam konteks inilah, persoalan kekerasan di muka bumi ini tentu saja tidak selamanya bisa diselesaikan dengan kekerasan. Justru, solusi kekerasan dilawan dengan kekerasan disinyalir tidak akan pernah menyelasaikan suatu persoalan dan bahkan hanya akan menambah persoalan baru. Karenanya, Mahatma Gandhi, tokoh besar India, menyarankan kekerasan seharusnya dilawan dengan tanpa kekerasan. Barangkali, solusinya diupayakan dengan penuh kelembutan, kedamaian, keikhlasan memaafkan, dan keteladanan yang baik untuk kehidupan dan kemanusiaan.***


Ringkasan seminar ini ditulis oleh: Choirul Mahfud.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More