type='text/javascript'/>

Choirul Mahfud Marsahid

"berbagi adalah ibadah. this web for sharing".

Thursday, January 10, 2008

Aksi Buruh dan Perbaikan Nasib

Sejak runtuhnya rezim Soeharto, Mei 1998, peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) yang jatuh 1 Mei selalu digelar secara terbuka dan masif oleh kaum buruh dan aktivis yang memperjuangkan hak-hak kaum buruh di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Aksi tersebut sangat wajar, sebab semasa Soeharto berkuasa, peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif, apalagi May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis. Konotasi ini jelas merugikan kaum buruh karena mayoritas negara-negara di dunia ini menetapkan 1 Mei sebagai Labour Day dan menjadikannya hari libur.


Alasan kekhawatiran atas gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap 1 Mei membuahkan gerakan anarkis sebetulnya sungguh ironis sebab asumsi tersebut ternyata tidak pernah terbukti. Sejak peringatan May Day 1999 hingga kini tidak pernah ada tindakan destruktif yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang masuk kategori membahayakan ketertiban umum.

Yang terjadi malahan tindakan represif aparat keamanan terhadap kaum buruh karena mereka masih berpedoman pada paradigma lama yang menganggap peringatan May Day adalah subversif.
Karena itu sangatlah berlebihan apabila dalam peringatan May Day 2007 ini muncul opini yang cenderung mendiskreditkan gerakan buruh. May Day Phobia sangat terlihat dari pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh pejabat publik di negeri ini.
Dalam iklim demokrasi, unjuk rasa adalah bagian terpenting ketika pintu dialog tidak lagi mampu menjawab masalah-masalah publik, termasuk masalah buruh.

Bila melihat persoalan perburuhan saat ini, ada peran intelektual dari bentuk skenario imperialisme global yang diperankan aktor neo-liberal, baik di level lembaga finansial internasional, perusahaan transnasional, dan berbagai kesepakatan organisasi perdagangan dunia yang begitu kuat menekan pemerintah. Sepuluh tahun lalu secara implisit Bank Dunia menyatakan telah mengendalikan ketergantungan utang Indonesia. Jadi wajar bila perjuangan kaum buruh memperoleh hak secara layak telah lama dilakukan.

Pada 1920, kali pertama kaum buruh di Indonesia secara terorganisasi memperingati Hari Buruh untuk memprotes kebijakan kaum pengusaha yang secara sepihak mengecilkan peran kaum buruh dalam faktor produksi. Namun, sejak masa pemerintahan Orde Baru, Hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia.

Sejak itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur untuk memperingati peranan buruh dalam masyarakat dan ekonomi. Alasannya sangat klise yakni selalu dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis saat itu.

Setelah Orde Baru berakhir, aksi kaum buruh turun ke jalan kembali marak di berbagai kota di Indonesia. Tujuannya satu, menuntut perbaikan nasib kaum buruh menjadi lebih layak dalam menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Hampir sepanjang sejarah kehidupan dunia, juga di Indonesia, nasib kaum buruh selalu mengenaskan. Kaum buruh dijadikan alat penarik kepentingan modal dan investasi asing demi meraih keuntungan sepihak, yaitu penguasa dan pengusaha.

Jika dilihat seksama, aksi buruh tidaklah berlebihan, mengingat kondisi kaum buruh di negeri ini masih termarginalisasi, tertindas, tidak memiliki daya tawar, mudah 'dibohongi'. Selain itu, buruh sangat mudah dijadikan objek kepentingan politik penguasa dan pengusaha.

Celakanya, posisi buruh selama ini sekadar penjual tenaga kerja, tidak lebih. Sementara posisi pengusaha adalah pembeli tenaga kerja, yang bebas memilih dan menggunakan, sekaligus mengawasi jalannya proses produksi. Di sini, kaum buruh tidak ditempatkan sebagai pelaku ekonomi yang memiliki hak yang sama dibanding pemodal yang bisa leluasa mengeruk untung yang sebesar-besarnya.

Lebih prihatin lagi, buruh di Indonesia bisa dikatakan hanya pencari nafkah dengan mengandalkan fisiknya, mengingat dari tingkat pendidikan yang diserap rendah. Sebab itu, posisi daya tawar kaum buruh di negeri ini sangat lemah, sehingga membuka peluang bagi kapitalis untuk berbuat semena-mena. Bukan hanya menyangkut upah yang rendah, juga hak-hak normatif lainnya, seperti jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan jaminan hari tua kaum buruh diabaikan.

Akibatnya, buruh kita tetap miskin dan tingkat kesejahteraan mereka kian menurun seiring naiknya harga BBM dan melambungnya harga kebutuhan pokok. Ini jelas berpengaruh pada daya beli kaum buruh terhadap kebutuhan pokok, termasuk kemampuan memberikan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan kepada anak serta keluarga mereka.

Betapa upah dan kesejahteraan kaum buruh masih jauh panggang dari api, jauh dari kesan pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam dasar negara kita.

Relasi yang selama ini dibangun masih menempatkan posisi subordinatif terhadap majikan (pengusaha). Alhasil, adalah lingkaran setan dan tumbuhnya militansi kaum buruh sebagai wujud dari ketidakpercayaan dan kecurigaan kepada pengusaha dan pemerintah. Sebagai ilustrasi, di era 1970-an , Irlandia adalah sebuah negara tanpa kepercayaan diri dan terbelakang di Eropa akibat konflik sosial politik puluhan tahun.

Namun, kini situasi tersebut telah berubah total. Negara itu kini menjadi negara kaya dan pendapatan per kapitanya menduduki ranking kedua di Eropa. Ratusan perusahaan besar berebut membuka pabrik atau cabang usaha di sana. Kini Irlandia merupakan salah satu surga investasi bagi para investor.

Pada 1987 pemerintah Irlandia memutuskan untuk bekerja sama dengan asosiasi pengusaha dan serikat pekerja Irlandia untuk menyepakati program pengontrolan kenaikan gaji buruh selama tiga tahun yang diberi nama Social Partnership for National Recovery.

Program itu sukses dan mampu mengontrol inflasi Irlandia. Sukses besar ini segera menjadi stimulus bagi para entitas sosial-politik Irlandia untuk kemudian melakukan beberapa kesepakatan lain yang bertujuan memulihkan kondisi ekonomi negeri itu. Ilustrasi ini semoga memberikan gambaran dan fakta bahwa solusi ketenagakerjaan nasional masa depan dapat diposisikan lebih baik lagi.

Choirul Mahfud
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS)Surabaya

Sumber: Harian Surya.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More