type='text/javascript'/>

Choirul Mahfud Marsahid

"berbagi adalah ibadah. this web for sharing".

Friday, July 20, 2007

Reformasi & Ironi Wakil Rakyat

Baru-baru ini, tindakan ratusan anggota dewan dari berbagai wilayah di Tanah Air di Gedung DPR Senayan Jakarta menimbulkan reaksi keras. Sebagian warga masyarakat menyebutkan, upaya memperjuangkan dana tunjangan komunikasi anggota DPRD tidak manusiawi. Malahan, sebagian lagi menyebutkan ulah tersebut memalukan.

Perjuangan menuntut pembayaran tunjangan dengan dalih untuk kepentingan konstituen hanya mengada-ada. Ujung-ujungnya, untuk kepentingan diri sendiri. Terbukti, anggota dewan yang mendatangi pimpinan DPR pada waktu itu menyatakan menolak mengembalikan uang rapel dari pemerintah daerahnya. Malahan anggota dewan tersebut akan berjuang untuk tetap mendapatkan dana tunjangan dan komunikasi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2006. Sungguh sikap yang melukai hati rakyat banyak, yang kini hidup menderita. Langkah para wakil rakyat itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Yang menarik, tidak semua anggota dewan di daerah setuju terhadap sikap rekan-rekannya. Langkah anggota DPRD tersebut merupakan tindakan yang tidak cerdas dan dapat memicu rasa antipati masyarakat. Anggota dewan yang terhormat itu tidak seharusnya bersikap frontal dan berdemonstrasi di gedung DPR. Bukankah ada cara-cara yang lebih santun?

Tindakan mendatangi gedung DPR justru mengundang rasa antipati masyarakat yang lebih luas. Pertanyaannya, apakah perjuangan anggota legislatif menuntut tunjangan komunikasi juga menjadi garis kebijakan partainya? Kenyataan, pemimpin partai politik tertentu sudah menginstruksikan anggotanya di dewan untuk mengembalikan tunjangan komunikasi tersebut.

Yang jelas, pemerintah hendaknya tak goyah dalam menghadapi tuntutan yang bernada ancaman dari anggota dewan tersebut. Keputusan merevisi peraturan pemerintah itu harus terus berjalan. Malahan, masyarakat menginginkan agar peraturan yang berpotensi menimbulkan korupsi tersebut batal sama sekali. Begitu pula, anggota dewan yang menolak mengembalikan dana rapel harus terkena ketentuan hukum yang berlaku. Paling tidak, mereka sudah melanggar Undang-Undang Anti Korupsi.

Di tengah arus penolakan masyarakat terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006, seharusnya anggota dewan bersikap arif. Bukan melawan lewat demo mendatangi Ketua DPR RI Agung Laksono. Kemudian, mengeluarkan pernyataan yang melukai hati rakyat. Sikap emosional anggota dewan dari berbagai daerah di Indonesia dapat menimbulkan persoalan baru. Pada akhirnya, kredibilitas para wakil rakyat pun semakin pudar di kalangan konstituennya sendiri. Patutkah anggota dewan itu menyandang predikat wakil rakyat, sedangkan perjuangannya justru menyakitkan rakyat?

Ironi Wakil Rakyat

Bergulirnya angin reformasi memang mengubah secara drastis wajah dan penampilan DPR. Mekanisme pemilihan para anggotanya yang dilakukan melalui pemilu multipartai telah menghasilkan anggota-anggota baru yang terseleksi secara lebih demokratis dibandingkan dengan pada masa Orde Baru. Kehadiran mereka dalam DPR format baru ini membangkitkan harapan bahwa lembaga ini kelak akan memperbaiki diri dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

Sayangnya, berjalannya waktu menunjukkan komitmen anggota DPR untuk berjuang demi rakyat tidaklah maksimal. Boleh dikatakan, komitmen anggota DPR untuk memperbaiki diri, baik kinerja, perilaku, maupun keberpihakannya, belum juga terwujud. Ketidakmampuan wakil rakyat menekan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik pada awal tahun 2000, penyusunan RUU APP, dan revisi UU ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 adalah salah satu kabar buruk betapa DPR kita tidak mampu mewujudkan peran sebagai penyambung "lidah rakyat."

Justru yang terjadi adalah sebaliknya, ia menjadi "musuh" rakyat, betapa tidak boleh disebut demikian bila membuat aturan untuk memperkaya diri dan kelompok, membuat RUU yang tidak memihak buruh sebagaimana yang tertera dalam draftnya. Demikian pula terjadi pada RUU APP yang tidak responsif pada masyarakat Bali, misalnya, yang sering dikunjungi turis akan terhambat kemajuan ekonomi dan wisata akibat RUU APP, maka wajar jika semua masyarakat kebanyakan menolak RUU APP dan Revisi UU ketenagakerjaan tersebut. Maka tidak salah bila Amien Rais menyebut DPR sebagai tukang stempel saja.

Bayang-bayang ketidakpuasan publik terhadap kinerja DPR dalam menyuarakan aspirasi rakyat rupanya terus menyeruak seiring perjalanan waktu. Sejak Mei 2001 angka ketidakpuasan responden terhadap kinerja DPR ini meningkat hingga 72,4 %. Bahkan, pada akhir tahun 2002 jumlah responden yang tidak puas meningkat tajam hingga 86,6 %. Hingga akhir masa jabatannya boleh dikatakan anggota DPR periode 1999-2004 masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah mereka dalam menyuarakan aspirasi masyarakat.

Sebaliknya, dalam melakukan fungsi kontrol terhadap pemerintah, kewenangan politik yang dimiliki DPR periode 1999-2004 dianggap terlalu berlebihan. Ia menjadi lembaga yang superior, kontrolnya terhadap pemerintah berlebihan sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan tugas-tugasnya secara maksimal. Bahkan, terkesan sebagian besar energi DPR saat itu digunakan untuk bertarung melawan pemerintah sehingga mengabaikan tugas-tugas pokoknya.

Berbeda dengan DPR sebelumnya yang dinilai terlalu kuat terhadap pemerintah, DPR saat ini (2004-2009) dinilai sebaliknya, terlalu lemah terhadap pemerintah. Beberapa kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat dan negara, seperti kenaikan harga BBM di atas 100 persen, impor beras, kontrak karya penambangan oleh Freeport dan ExxonMobil, menjadi indikator ketidakberdayaan DPR mengontrol pemerintah. Ketidakpuasan rakyat juga tercermin pada kinerja DPR dalam membuat undang-undang (UU). Dugaan adanya kepentingan segelintir orang daripada kepentingan seluruh masyarakat mulai dirasakan publik sejak awal. Kondisi ini diungkapkan Sultani dalam hasil jajak pendapat Kompas bulan Mei 2006, bahwa 59,8 % responden yang tidak puas dengan kinerja DPR dalam membuat UU yang aspiratif.

Setelah sewindu reformasi bergulir, publik mulai menyangsikan komitmen DPR mewujudkan perjuangan reformasi. Keengganan DPR menyentuh persoalan-persoalan yang menjadi tuntutan reformasi boleh jadi mencerminkan sikap DPR yang mendua dalam mereformasi dirinya. Publik lalu tidak lebih hanya sebagai korban reformasi. Jika realitasnya terus demikian, maka jelas, pupus sudah harapan rakyat untuk menggantungkan nasib dan aspirasinya terhadap wakil rakyat, padahal banyak pihak yang menggantungkan harapan pada saat bergulirnya gerakan reformasi satu dasawarsa silam.

Dalam kondisi seperti ini, kita boleh mengatakan bahwa reformasi sesungguhnya telah mati suri. Lantas bagaimana yang harus diperbuat? Menurut hemat penulis, agenda mendesak yang perlu diselesaikan adalah bagaimana agar demokrasi yang tengah mati suri itu bisa bangkit dan hidup kembali secara wajar. Sebab, jika demokrasi yang mati suri itu dipelihara dan diberi terapi yang memadai, maka akan ada peluang untuk membuatnya hidup kembali, menjadi segar-bugar dan sehat-walafiat.

1 komentar:

Memang banyak yang pergi
Tidak sedikit yang lari
Sebagian memilih diam bersembuyi
Tapi… Perubahan adalah kepastian
dan untuk itulah kami bertahan
Sebab kami tak lagi punya pilihan
Selain terus melawan sampai keadilan ditegakan!

Kawan… kami masih ada
Masih bergerak
Terus melawan!
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More