type='text/javascript'/>

Choirul Mahfud Marsahid

"berbagi adalah ibadah. this web for sharing".

Friday, July 20, 2007

Reaktualisasi Toleransi Agama

Oleh Choirul Mahfud
Penulis adalah direktur eksekutif Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya .

Belakangan ini, agama adalah sebuah nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya belakangan ini sering tampil dengan wajah kekerasan dan seolah-olah telah kehilangan wajah ramahnya. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak muncul konflik, intoleransi dan kekerasan atas nama agama dan berkeyakinan di berbagai kawasan Indonesia . Teror 11 September di Amerika yang menewaskan ribuan nyawa manusia yang tak berdosa, Bom Bali, kasus Poso, Ambon, Papua, Aceh, bom Marriott, bom Natal dan pelarangan pendirian gereja di Malang, dan Kasus Yusman Roy di Pasuruan hanyalah salah satu contoh saja.

Dalam konteks semacam ini menjadi sangat beralasan apabila ada pihak yang menyebut agama adalah sumber masalah dari seluruh kekacauan dunia. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronistik memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran dipastikan akan berujung konflik. Memang, menyatakan agama semata-mata sebagai sumber masalah jelas tidak arif dan a-historis, karena faktanya selama berabad-abad agama telah menopang dan memberi sumbangsih bagi jutaan orang.

Paradoks agama pun tak bisa dielakkan. Di satu sisi, agama adalah pembawa damai, tetapi di sisi lain, agama telah ikut mendorong konflik, bahkan kadangkala tindakan kekerasan. AN Wilson dalam buku Against Religion, Why We Should Try to Live Without It (1990), melukiskan paradoks dan dilema dalam konflik antar-agama tersebut, seperti seseorang ada dalam sebuah agama, konflik dengan agama lain akan dianggap sebagai ”sebuah tindakan kebenaran melawan kezaliman”. Sedangkan jika orang itu ada di agama lain yang dilawan itu, maka ia akan menganggap sebaliknya, agamanya sendiri sebagai yang benar, melawan agama lawannya itu sebagai yang salah, yang zalim. Tetapi, jika seseorang berada di luar dua agama yang sedang konflik itu, ia akan melihat keduanya ada dalam kesalahan, dan ia akan menganggap bahwa konflik yang sama-sama menggunakan klaim kebenaran itu sebagai kenaifan karena jelas keduanya salah.

Dari sinilah awal mula yang Charles Kimball maksudkan sebagai ”when religions become evil” (Kala Agama menjadi Bencana). Yakni, munculnya sejuta pertanyaan, ada apa dengan agama? Adakah agama memang mengandung unsur-unsur yang melegitimasi kekerasan, bahkan teror? Apakah agama berperan sebagai sumber problem atau sumber solusi? Bagaimana mengenali terjadinya modus kekerasan di tubuh agama? Apa yang harus kita perbut?

Dengan peta analisisnya, Kimball mengimbau kita agar kembali ke agama autentik, yakni, modus keberagamaan yang tidak sekedar bersetia dengan doktrin skriptural (teks) yang statis, tetapi sebuah iman yang hidup dan menghidupi kemanusiaan universal dan memihak keadilan social (konteks).

Max Weber dalam magnum opusnya "the Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism" menegaskan pentingnya mendudukkan agama sebagai spirit etika dan perubahan sosial. Fungsi sosial agama untuk perubahan sosial menuju masyarakat equilibrium yang multikultural dalam konteks ini sangat dipertaruhkan demi kamajuan masyarakat, bukan pendukung tata-kekuasaan yang mapan, korup, anti-toleran.

Barangkali tepat bila kita melakukan dua agenda besar dalam mensikapi problem kehidupan beragama di Indonesia , khususnya di Jawa Timur. Pertama, Reaktualisasi Toleransi Agama dengan cara menafsir ulang pemahaman kita terhadap makna toleransi agama. Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut al-tasamuh sesungguhnya merupakan salah satu jalan alternatif menuju perdamaian dan ia termasuk ajaran inti agama, khususnya dalam Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah ’ammah), keadilan (’adl). Adalah kewajiban setiap umat Islam untuk berseru dan berdakwah tentang prinsip-prinsp ajaran Islam di atas.

Sebagai suatu ajaran fundamental, konsep toleransi telah banyak ditegaskan dalam Alquran. Alquran berpandangan bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antarsesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa bahwa Tuhan menciptakan planet bumi tidak untuk satu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacam-macam agama, itu tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing (al-Baqarah: 256, al Hujurat : 13).

Kedua, perlunya pribumisasi toleransi agama dalam level praksis-sosial via mubaligh dan kaum agamawan. Para elite intelektual yang suka gembar-gembor menyanyikan lagu "toleransi dan pluralisme" harus segera turun dari pentas dengan melibatkankan diri secara nyata dalam gerakan toleransi beragama. Dengan cara inilah, maka wacana toleransi tidak hanya melingkar-lingkar secara elitis di kalangan intelektual kota , melainkan justru dapat tembus pada masyarakat akar rumput.

Last but not least, negara bekerja bersama masyarakat dalam konteks ini juga sangat menentukan damai-konfliknya negeri yang multikultural ini. Oleh karena itu, semua pihak harus terus membahas masalah ini secara holistik. Apabila hal ini tidak segera direspons, maka secara berangsur-angsur akan berdampak besar bagi integrasi bangsa, dan bahkan bisa menjadi ancaman Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Wallahu A’lam.***

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More