Chang-Yau Hoon (2012) dalam buku “Identitas Tionghoa Pasca Soeharto”
mengurai identitas warga Tionghoa kini mulai memudar. Pudarnya identitas bukan
tanpa sebab, juga bukan tanpa kegalauan. Bahkan tak sedikit menimbulkan
kekhawatiran.
Aliptojo Wongsodihardjo, penasehat Perhimpunan INTI Jatim, mengungkap
kegalauan dan beberapa indikasi simbolik dimana generasi Tionghoa dari masa ke
masa mulai sedikit luntur tentang pemahaman tradisi dan budaya Tionghoa. Misal
saja terkait pemahaman makna simbol warna merah, warna kuning, warna putih dan
warna hitam dalam tradisi budaya Tionghoa. Contohnya, warna hitam biasanya
dalam tradisi Tionghoa untuk kematian, tapi kini digunakan untuk pernikahan.
Hal itu, tentu saja, berimplikasi pada pudarnya identitas budaya Tionghoa.
Belum lagi, tantangan zaman globalisasi dan pragmatisme kultur modern.
Perayaan Imlek yang ditutup dengan ritual Cap Go Meh tahun ini tentu bisa
menjadi momentum penting untuk dipahami dalam konteks penguatan identitas warga
Tionghoa Indonesia. Di sinilah, perayaan diharapkan jangan membuat terjebak
dalam ritualisme dan seremonial ansich.
Christine Susanna Tjhin (2006) pernah mencatat pemahaman yang keliru
terkait rutinitas perayaan Imlek yang seolah menjadi “tanda” kebangkitan etnis
Tionghoa di negeri ini. Apalagi tanda kebangkitan hanya dinilai dari
“merah-meriahnya Imlek”. Dari tahun ke tahun, misalnya, perayaan Imlek dan Cap
Go Meh di Indonesia terus meriah. Hal itu nampak dari tulisan dan ucapan “Gong
Xi Fa Cai” yang bertebaran di area publik, pusat perbelanjaan, televisi,
reklame, koran, majalah, hingga jejaring sosial online seperti facebook, twitter
dan semacamnya.
Dari catatan C.Y. Hoon dan C.S. Tjhin di atas, bisa dipahami bahwa
perayaan Imlek hingga Cap Go Meh bukan sesuatu yang salah, namun membangkitkan
dan membangun identitas tentu tidak cukup dengan perayaan saja. Sebab, perayaan
di tengah problematika ekonomi sosial bangsa, memang bisa saja menimbulkan
prasangka yang patut diwaspadai.
Di sinilah, format baru perayaan imlek bisa dikaji dan dipikirkan lebih
lanjut. Bila dilacak sejarahnya, esensi Imlek dan Cap Go Meh merupakan perayaan
syukur dan berbagi harapan baik antar sesama.
Sidharta Adhimulya, aktivis Tionghoa menjelaskan sejarah Imlek (Yin Li)
merupakan warisan leluhur tentang sistem penanggalan Tiongkok sebagai penanda
gantinya musim salju ke hujan. Pergantian musim semacam itu, ungkap Sidharta,
memberi harapan yang patut disyukuri bersama.
Sementara, Cap Go Meh adalah istilah yang berasal dari dialek Hokkian
yang bila dieja per kata, Cap mempunyai arti sepuluh, Go adalah lima, dan Meh
berarti malam. Jadi, secara harfiah Cap Go Meh bermakna 15 hari. Itu
melambangkan hari kelima belas atau hari terakhir dari rangkaian masa perayaan
Imlek bagi komunitas Tionghoa.
Dalam menyambut perayaan Imlek dan Cap Go Meh, biasanya warga Tionghoa
juga menggelar acara kirab dengan diramaikan penampilan barongsai dan liong.
Keduanya sudah menjadi bagian tradisi budaya dari perayaan hari besar
masyarakat Tionghoa. Dalam perayaan ini pertunjukkan liong dan barongsai
menjadi simbol ritual yang diyakini sebagai pembawa rejeki dan penolak bala.
Tradisi liong dan barongsai diyakini sebagai ritual membersihkan lingkungan,
khususnya energi negatif. Dengan turunnya barongsai dan liong diharapkan akan
memberikan perlindungan serta berkah dan keselamatan bagi semua.
Dalam sejarah sosial politik, perayaan Imlek dan Cap Go Meh di negeri ini
telah memiliki sejarah yang panjang. Di masa Orde Baru, perayaan dan hal ihwal
terkait tradisi dan budaya Tionghoa dilarang ditampilkan dan dirayakan di area
publik. Berbeda dengan saat ini, lembaran sejarah politik Indonesia kontemporer
mencatat, perayaan seni dan tradisi budaya Tionghoa kembali semarak setelah
sekian lama terkubur di bawah kekuasaan rezim Orde Baru. Pemerintahan Megawati
dan Gus Dur hingga SBY saat ini ikut andil dalam mencetak lembaran baru sejarah
perjalanan Tionghoa Indonesia.
Meminjam ungkapan Christine Susanna Tjhin yang mengutip Charles Taylor
(1992) bahwa fenomena semacam itu merupakan dinamika identitas yang tidak lepas
dari politik pengakuan yang dialogis. Budaya dialog dalam rangka untuk saling
mengenal bisa menumbuhkan rasa sayang dan cinta lintas etnis dan budaya.
Di sinilah, C.Y. Hoon memberikan “kata kunci” bagaimana cara merespons
keberagaman dan simbol perbedaan di sebuah masyarakat multikultural seperti
Indonesia. “Kata kunci” yang dimaksud Hoon adalah hubungan antaretnis dan
interaksi antar simbol perbedaan sebaiknya bukanlah dengan cara “mengatasi”
atau “menjauhi” perbedaan, tetapi dengan “hidup dengan”, atau “hidup melalui”
perbedaan. Argumentasi bahwa bila menggunakan logika “mengatasi” dan
“menjauhi”, maka akan cenderung mengarah apatis, bahkan represif dan menindas.
Sementara logika “hidup dengan” akan membuat seseorang terus berusaha
saling mengenal dan dialogis. Begitu pula “hidup melalui” maka simbol perbedaan
bukanlah tantangan atau hambatan, namun justru menjadi peluang yang bisa
dijadikan modal kemajuan masyarakat dan bangsa.
Dalam konteks ini, kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan lainnya di negeri
ini dapat dipandang sebagai modal sosial menuju integrasi dan penghargaan atas
identitas keindonesiaan yang multikultural. Modal sosial, sebagaimana pernah
diulas panjang lebar oleh Robert D. Putnam dan Francis Fukuyama, setidaknya ada
dua hal, yaitu trust (kepercayaan) dan network (jaringan). Jejaring yang
diperkuat dengan kepercayaan akan menjadi sebuah masyarakat terbayang (imagined
communities) dengan kegotong-royongan dan semangat saling asih, asah dan asuh.
Oleh karena itu, seni dan budaya, tentu, seharusnya tidak melulu
dipandang sebagai sarana hiburan dan perayaan semata, tetapi juga sebagai modal
sosial budaya bangsa untuk merevitalisasi kebhinekaan masyarakat Indonesia
untuk kemajuan, kesejahteraan dan kebaikan.***
0 komentar:
Post a Comment