Pesantren di seluruh Indonesia kini kembali diliputi masalah pelik yang sulit dihindarkan, yakni adanya praktik politisasi terutama di setiap momentum pesta demokrasi. Di Jawa Timur, misalnya, meskipun pemilihan gubernur dan wakil gubernur sudah selesai digelar beberapa waktu lalu, bukan berarti institusi pesantren sudah aman dari praktik politisasi. Apalagi, pada tahun 2014 mendatang akan digelar hajatan terbesar pemilu nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden beserta anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) dan daerah (DPD).
Hasil penelitian disertasi yang saya lakukan di program doktoral menemukan beberapa fakta menarik bahwa pasca reformasi lembaga pesantren di negeri ini tidak pernah sepi dari politisasi. Bahkan, tercatat sebagai lembaga pendidikan Islam yang paling sering dijadikan obyek politisasi. Terjadinya politisasi pesantren di negeri ini tidak luput dari peran dan pengaruh berbagai pihak, diantaranya politisi, kiai, santri dan alumni pesantren. Jadi, politisasi pesantren tidak hanya dilakukan oleh elit politik saja sebagai unsur “outsider”, tetapi juga ada unsur “insider” yang dilakukan oleh para kiai, santri dan alumni santri pesantren di negeri ini.
Dalam praktiknya, politisasi pesantren memang lebih sering didominasi dan dilakukan oleh elit politik ketimbang kiai maupun alumninya. Bila ada keterlibatan para kiai pesantren yang terjun ke dunia politik, biasanya karena tergoda dengan sejumlah iming-iming dan janji politik praktis hingga bantuan pengembangan pesantren. Sementara alumni pesantren yang ikut andil dalam praktik politisasi pesantren biasanya terlibat menjadi salah satu tim sukses dari elit politik tertentu, atau mungkin alumni pesantren tersebut ikut mencalonkan diri sebagai calon pejabat publik baik di level eksekutif maupun legislatif.
Dari sinilah, dapat diprediksi kemungkinan adanya praktik politisasi pesantren yang (akan) kembali dilakukan dalam setiap even pesta demokrasi. Kenapa bisa terjadi? Alasannya tentu sangat beragam, setidaknya argumentasi dari sejumlah elit politik dalam melihat pesantren dapat dipahami dari beberapa alasan berikut ini. Pertama, pesantren dianggap memiliki kekuatan basis massa besar yang terdiri dari santri dan jaringan alumni yang menyebar di mana-mana, sehingga dapat dijadikan mesin pendulang suara. Kedua, pesantren masih menjadi kiblat sebagian besar masyarakat santri yang ditunjukkan dengan ketaatan pada sosok kiai sebagai panutan dalam urusan sosial politik selain agama. Ketiga, pesantren juga memiliki jaringan antar pesantren yang digerakkan oleh para kiai dan sejumlah pimpinan yayasan pesantren di seluruh Indonesia.
Oleh karena itu, hingga saat ini, pesantren masih memiliki daya tarik bagi sejumlah elit politik untuk mendulang suara demi meraih kepentingan kekuasaan yang diinginkan. Apalagi, secara kuantitas, jumlah pesantren di Indonesia dari Sabang sampai Merauke kini berjumlah mendekati angka satu juta pesantren. Bisa dibayangkan, dengan jumlah sebesar itu, pesantren memiliki posisi tawar yang tinggi di mata elit politik. Dalam konteks inilah, pengelola pesantren di era saat ini diuji ketebalan iman politiknya. Apakah bersedia terjun ikut serta dalam pesta demokrasi ataukah sebaliknya tidak ikut serta dalam keramaian pesta pemilu. Kegalauan kiai dan stakeholders pesantren biasanya semakin terasa ketika yang terlibat dalam politik praktis adalah dari unsur “insider”, terutama keluarga kiai atau alumni pesantren sendiri. Hal itu akan berbeda bila yang terlibat dalam politik praktis dari unsur “outsider” yang notabene bukan berasal dan tidak terkait sama sekali dengan pesantren yang bersangkutan.
Dalam konteks tertentu, nalar politik pesantren biasanya dapat dipahami lebih cenderung ke arah patron kiai tertentu. Di sinilah, elit politik tidak kalah akal untuk merebut simpati dan solidaritas politik dari pesantren dengan melibatkan sosok yang paling berpengaruh dalam pesantren. Bahkan, pemanfaatn jaringan pesantren kini mulai relatif berjalan secara sistemik dan teroganisir, terutama pesantren kecil-kecil yang menyebar di beberapa daerah.
Secara umum, praktik politisasi pesantren sebetulnya bukan masalah baru. Ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih hidup, misalnya, politisasi pesantren pernah terjadi dan seolah tidak ada yang berani mempersoalkan. Lalu, Gus Dur sendirilah yang meminta agar tidak terjadi politisasi pondok pesantren untuk kepentingan-kepentingan politik sesaat. Pada waktu itu, Gus Dur menyatakan bahwa soal akhlak, silahkan mengikuti ulama. Tetapi, soal politik harus dipisah dengan urusan agama. Jadi, jangan ada lagi politisasi pondok pesantren untuk kepentingan politik sesaat.
Hal yang senada juga pernah ditegaskan oleh budayawan Acep Zamzam Noor yang menyatakan dengan tegas, bahwa pesantren rusak karena politik. Padahal, awalnya, pesantren mendapatkan kepercayaan masyarakat karena dipercaya sebagai lembaga yang berdiri di atas semua golongan. Namun, masalah mulai muncul ketika partai-partai dan elit politik mulai menjadikan pesantren sebagai obyek politisasi yang patut dicegah dan diwaspadai bersama. Demikian pula, para kiai sudah seharusnya kembali fokus memikirkan pesantren secara serius agar tidak terjadi kekhawatiran timbulnya gejala pesantren tanpa kiai. Semoga. Wallahu A’lam.*** by Choirul Mahfud.
Hasil penelitian disertasi yang saya lakukan di program doktoral menemukan beberapa fakta menarik bahwa pasca reformasi lembaga pesantren di negeri ini tidak pernah sepi dari politisasi. Bahkan, tercatat sebagai lembaga pendidikan Islam yang paling sering dijadikan obyek politisasi. Terjadinya politisasi pesantren di negeri ini tidak luput dari peran dan pengaruh berbagai pihak, diantaranya politisi, kiai, santri dan alumni pesantren. Jadi, politisasi pesantren tidak hanya dilakukan oleh elit politik saja sebagai unsur “outsider”, tetapi juga ada unsur “insider” yang dilakukan oleh para kiai, santri dan alumni santri pesantren di negeri ini.
Dalam praktiknya, politisasi pesantren memang lebih sering didominasi dan dilakukan oleh elit politik ketimbang kiai maupun alumninya. Bila ada keterlibatan para kiai pesantren yang terjun ke dunia politik, biasanya karena tergoda dengan sejumlah iming-iming dan janji politik praktis hingga bantuan pengembangan pesantren. Sementara alumni pesantren yang ikut andil dalam praktik politisasi pesantren biasanya terlibat menjadi salah satu tim sukses dari elit politik tertentu, atau mungkin alumni pesantren tersebut ikut mencalonkan diri sebagai calon pejabat publik baik di level eksekutif maupun legislatif.
Dari sinilah, dapat diprediksi kemungkinan adanya praktik politisasi pesantren yang (akan) kembali dilakukan dalam setiap even pesta demokrasi. Kenapa bisa terjadi? Alasannya tentu sangat beragam, setidaknya argumentasi dari sejumlah elit politik dalam melihat pesantren dapat dipahami dari beberapa alasan berikut ini. Pertama, pesantren dianggap memiliki kekuatan basis massa besar yang terdiri dari santri dan jaringan alumni yang menyebar di mana-mana, sehingga dapat dijadikan mesin pendulang suara. Kedua, pesantren masih menjadi kiblat sebagian besar masyarakat santri yang ditunjukkan dengan ketaatan pada sosok kiai sebagai panutan dalam urusan sosial politik selain agama. Ketiga, pesantren juga memiliki jaringan antar pesantren yang digerakkan oleh para kiai dan sejumlah pimpinan yayasan pesantren di seluruh Indonesia.
Oleh karena itu, hingga saat ini, pesantren masih memiliki daya tarik bagi sejumlah elit politik untuk mendulang suara demi meraih kepentingan kekuasaan yang diinginkan. Apalagi, secara kuantitas, jumlah pesantren di Indonesia dari Sabang sampai Merauke kini berjumlah mendekati angka satu juta pesantren. Bisa dibayangkan, dengan jumlah sebesar itu, pesantren memiliki posisi tawar yang tinggi di mata elit politik. Dalam konteks inilah, pengelola pesantren di era saat ini diuji ketebalan iman politiknya. Apakah bersedia terjun ikut serta dalam pesta demokrasi ataukah sebaliknya tidak ikut serta dalam keramaian pesta pemilu. Kegalauan kiai dan stakeholders pesantren biasanya semakin terasa ketika yang terlibat dalam politik praktis adalah dari unsur “insider”, terutama keluarga kiai atau alumni pesantren sendiri. Hal itu akan berbeda bila yang terlibat dalam politik praktis dari unsur “outsider” yang notabene bukan berasal dan tidak terkait sama sekali dengan pesantren yang bersangkutan.
Dalam konteks tertentu, nalar politik pesantren biasanya dapat dipahami lebih cenderung ke arah patron kiai tertentu. Di sinilah, elit politik tidak kalah akal untuk merebut simpati dan solidaritas politik dari pesantren dengan melibatkan sosok yang paling berpengaruh dalam pesantren. Bahkan, pemanfaatn jaringan pesantren kini mulai relatif berjalan secara sistemik dan teroganisir, terutama pesantren kecil-kecil yang menyebar di beberapa daerah.
Secara umum, praktik politisasi pesantren sebetulnya bukan masalah baru. Ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih hidup, misalnya, politisasi pesantren pernah terjadi dan seolah tidak ada yang berani mempersoalkan. Lalu, Gus Dur sendirilah yang meminta agar tidak terjadi politisasi pondok pesantren untuk kepentingan-kepentingan politik sesaat. Pada waktu itu, Gus Dur menyatakan bahwa soal akhlak, silahkan mengikuti ulama. Tetapi, soal politik harus dipisah dengan urusan agama. Jadi, jangan ada lagi politisasi pondok pesantren untuk kepentingan politik sesaat.
Hal yang senada juga pernah ditegaskan oleh budayawan Acep Zamzam Noor yang menyatakan dengan tegas, bahwa pesantren rusak karena politik. Padahal, awalnya, pesantren mendapatkan kepercayaan masyarakat karena dipercaya sebagai lembaga yang berdiri di atas semua golongan. Namun, masalah mulai muncul ketika partai-partai dan elit politik mulai menjadikan pesantren sebagai obyek politisasi yang patut dicegah dan diwaspadai bersama. Demikian pula, para kiai sudah seharusnya kembali fokus memikirkan pesantren secara serius agar tidak terjadi kekhawatiran timbulnya gejala pesantren tanpa kiai. Semoga. Wallahu A’lam.*** by Choirul Mahfud.
1 komentar:
bagus gan artikelnya. izin share...
visit to http://www.razisolutions.com/2015/06/make-seo-friendly-article-like.html
Post a Comment