Di tahun 2013
ini, potret pendidikan di Indonesia dipastikan mengalami perubahan cukup signifikan.
Setidaknya, karena adanya penerapan kurikulum 2013. Meskipun sudah dilakukan
sosialisasi, pro dan kontra masih terus terjadi hingga saat ini.
Bagi yang pro
beralasan bahwa kurikulum lama berbasis kompetensi (KBK) yang diterjemahkan dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dianggap sudah tidak lagi up to date. Bahkan cenderung memberatkan
peserta didik. Warpres Boediono, misalnya, menilai terjadi “overloading” pelajaran untuk siswa. Di sinilah,
perubahan kurikulum baru dianggap perlu sebagai solusi.
Sementara bagi
yang kontra, kurikulum 2013 dianggap bukan solusi terbaik untuk mengatasi
masalah pendidikan di negeri ini. Sebab, kurikulum bukan satu-satunya kunci
mengatasi masalah pendidikan. Penerapan kurikulum 2013 dinilai tidak akan
berpengaruh pada peningkatan mutu pendidikan di beberapa daerah dari Sabang
sampai Merauke. Apalagi secara substansial, di dalam Kurikulum 2013 ada poin yang
meniadakan mata pelajaran muatan lokal (mulok), yang bisa berdampak terhapusnya
pelajaran bahasa daerah di Indonesia.
Karenanya, banyak
pihak berharap kepada pemerintah agar tidak hanya berpikir tentang kurikulum
baru, tetapi juga mau lebih memperhatikan peningkatan mutu guru sebagai pemegang
kunci sukses pendidikan. Sebab, survei sering membuktikan bahwa adanya
kurikulum tertulis (written curriculum)
seringkali "gagap" menghadapi realita dan akhirnya acapkali yang
berlaku di sekolah hingga dunia kampus adalah kurikulum yang tidak tertulis (hidden curriculum).
Pro-kontra di
atas tentu saja patut dinilai secara positif dan wajar dalam era demokratisasi
seperti saat ini. Karena semua itu bagian dari bukti cinta dan perhatian
masyarakat kita yang berharap adanya penyelenggaraan pendidikan mutu di tanah
air.***Choirul Mahfud
2 komentar:
setuju bgt,, pemerintah sepertinya kurang berpikir panjang... kok dgn mudahnya ganti2 kurikulum...
terima kasih, telah membantu menyelasaikan tugas saya :D
Post a Comment